Menyoal Jual Beli Jabatan di Indonesia

OPINI–Miris dan memprihatinkan. Jual beli jabatan terus terjadi di Indonesia. Tertangkapnya Bupati Klaten, Sri Hartini pada Desember 2016 menambah deretan kepala daerah yang terciduk operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada tahun 2017, tepatnya 25 Oktober KPK melakukan OTT terhadap Bupati Nganjuk Taufiqurrahman sebagai tersangka tersangka jual-beli jabatan.
Berdasarkan data yang dirilis antikorupsi.org, ada peningkatan penyidikan kasus korupsi dari tahun 2016 ke tahun 2017.

Kasus Korupsi pada 2016 sebanyak 482 kasus dan tahun 2017 ada 576 kasus dengan jumlah tersangka pada tahun 2016 1.101 tersangka dan 1.298 tersangka pada tahun 2017.

Jumlah aktor yang ditetapkan sebagai tersangka 10 terbanyak yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) 495 tersangka, swasta 241 tersangka, kepala desa 102 tersangka, masyarakat 59 tersangka, dirut atau karayawan BUMN 50 tersangka, ketua/anggota organisasi/kelompok 44 tersangka, apartur desa, 38 tersangka, ketua/anggota DPRD 37 tersangka, kepala daerah 30 tersangka dan dirut atau karyawan BUMD 30 tersangka.

Dr Hendra Karinga, SH, MH, dalam bukunya Carut Marut Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Otonomi Daerah Perspektif Hukum dan Politik (2017) menyebutkan dalam perkembangan terkini, ada dua kasus korupsi yang mendapat perhatian publik.

Yakni: Pertama, korupsi suap juga merembet pada promosi jabatan (jual beli jabatan) bagi aparatur sipil negara (ASN), yang melibatkan kepala daerah sebagai pejabat yang memiliki wewenang untuk mengangkat ASN seperti kasus Bupati Klaten, Sri Hartini, dengan dalih uang syukuran.

Kedua, suap untuk memuluskan uji materi terhadap Undang-undang No.41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada kasus Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi, Untuk korupsi jual beli jabatan, ibarat penyakit, ini adalah virus yang mematikan.

Pemerintah sebagai organ negara yang menyelenggarakan pemerintahan, baik pusat maupund aerah, sudah terinfeksi korupsi suap jabatan.

Dampaknya secara langsung telah meluluhlantakkan dan merusak tata Kelola pemeintahan Ada uang ada Jabatan” adalah fakta yang berlaku saat ini dan bukanlah slogan semata.

Berbagai upaya sudah dilakukan banyak pihak. Termasuk KPK sebagai komisi yang berwenang mencegah dan memberantas korupsi.

KPK menggandeng banyak elemen masyarakat untuk mengedukasi tentang upaya-upaya pencegahan korupsi. Mulai dari Pendidikan anak usia dini, Pendidikan tinggi sampai kepada edukasi kepada masyarakat luas.

Namun, realitanya di lapangan masih banyak terjadi praktik KKN. Lantas, siapa yang salah? Langkah apa yang sebaiknya dilaksanakan?

Denny Indrayana dalam bukunya Jangan Bunuh KPK Komisi Pemberantasan Korupsi (2017)Seharusnya, korupsi dapat dicegah dan diberantas.

Dicegah dengan kejujuran, diberantas dengan penegakan hukum yang efektif. Namun, Pendidikan kejujuran kita sendiri sudah koruptif.

Berbohong, menyontek, berlaku curang adalah bagiah dari tingkah perilaku yang masih marak kita dengan di banyak pemberitaan.

Di sisi lain, pilar pemberantasan korupsi juga mandul. Praktik kourpsi juga mewabah dengan ganas pada profesi penegakan hukum.

Sebagai rakyat, paling tidak upaya konkrit yang mampu kita lakukan adalah meminimalisasi upaya-upaya ke arah praktik KKN.

Tak perlu berkecil hati ketika kita belum mampu membuat perubahan signifikan. Paling tidak, kita sudah berupaya untuk tidak menjadi bagian dari praktik KKN. Pelayanan-pelayanan public secara online tidak serta merta membasmi praktik KKN.

Harapan demi harapan digantungkan publik kepada pemerintah untuk tetap berkomitmen membasmi pelaku KKN dan memberantas praktik KKN. Meskipun sebagian orang menganggap hukuman-hukuman yang diberikan kepada para pelaku KKN belum berdampak signifikan.

Hukuman yang ada tidak menjadi syok terapi bagi para pejabat, politisi dan masyarakat umum lainnya. Ada sebagian publik yang berganggapan bahwa hukum masih berlaku tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Mari terus bergerak dan berupaya agar Negeri tercinta ini benar-benar zero korupsi. Tak ada yang tak mungkin selagi ada komitmen bersama.*

*Penulis: Ruslina Dwi Wahyuni, S.Sos., MAP. Dosen Prodi Hukum Tata Negara (HTN) STAIMAS Wonogiri

tulisan ini tayang di https://www.jatengpost.com/opini/pr-3564917946/menyoal-jual-beli-jabatan-di-indonesia edisi Senin, 10 Desember 2018

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *